Rank & Visitors

More

About

Sabtu, 17 Januari 2009

ALBERT EINSTEIN PENEMU RELATIVITAS?


Albert Einstein
Penemu Teori Relativitas


Albert Einstein lahir di Ulm Wurttemberg, Jerman, 14 Maret 1879 dari keluarga sederhana. Ayahnya, Hermann, memiliki perusahaan kecil yang membuat alat-alat listrik.

Ketika kecil, orang mengira Einstein sebagai anak yang terlambat perkembangannya. Hal ini terjadi karena ketika anak seusianya sudah dapat berbicara, ternyata ia belum bisa. Pada saat sekolah di tingkat SD, Einstein sama sekali tidak menampakkan kecemerlangan otaknya. Bahkan, bisa dikategorikan sbagai anak bodoh, sama sepeti Newtn atau Thomas Alfa Edison. Ia tidak menyukai disiplin sekolah yang keras. Ia juga tidak menyukai mata pelajaran hapalan seperti sejarah, geografi, dan bahasa. Ia tidak suka menghafalkan fakta dan data. Minatnya hanya pada fisika dan matematika, terutama teori.

Kegemaran utama Einstein adalah membaca, berpikir, dan belajar sendiri. Tak heran jika guru-guru menganggapnya pemalu, bodoh, malas belajar, dan pelanggar tata tertib.

Kelakuannya tidak juga berubah meskipun telah duduk di bangku SMP. Karena hanya mau mempelajari fisika dan matematika, ia tamat SMP tanpa mendapat ijazah. Pada saat yang bersamaan, perusahaan ayahnya bangkrut. Terpaksa ia meninggalkan Jerman dan ikut orangtuanya ke Swiss. Di sana ia melanjutkan sekolah ke SMA dan berhasil lulus.



Namun, ketika akan melanjutkan ke perguruan tinggi, ia harus mengulang sampai dua kali. Akhirnya ia diterima di Institut Politiknik di Zurich, Swiss. Namun, tabiatnya tetap tidak berubah! Ia jarang kuliah. Kalau saja temannya tidak meminjaminya catatan, barangkali ia tidak lulus dari kampus dan menjadi mahasiswa abadi.

Lulus kuliah tidak berarti langsung bekerja. Ia sempat menganggur selama dua tahun.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

PERCOBAAN AIR MINUM (VIDEO)

percobaan ini dilakukan untuk membuktikan kualitas air minum dalam kemasan selain Oxy yg kami bandingkan dengan air tanah.


LIHAT VIDEONYA DISINI!!

KULTUR JARINGAN

Vanda Metusalae, Anggrek Spesies Baru dari Indonesia
Pada bulan Januari 2008 telah dipublikasikan sebuah anggrek Vanda spesies baru dari Indonesia. Anggrek ini dideskripsikan oleh Peter O'Brien dan Jaap Vermeulen di Jurnal The Orchid Review 116 (1279): 9-11 (2008).

Sosok tanamannya tidak terlalu besar, batangnya dapat mencapai 50 cm, dengan diameter 1,2 - 1,5 cm. Daunnya cukup sempit, lebar daunnya 2 - 2,3 cm, panjang daun 30-45 cm, berujung belah dua (bilobed) dan berujung tajam-bergigi. Tangkai pembungaan termasuk pendek bila dibanding dengan keluarga Vanda lainnya, yaitu sekitar 5-6 cm, yang membawa 3-7 kuntum bunga.

Bunga Vanda metusalae berukuran tidak terlalu besar yaitu 3,2 cm x 3,5 cm, berwarna dasar kuning terang dengan pola bercak merah kecokelatan pada tepi kelopak (sepal-petal) dan membentuk pola garis-garis longitudinal searah pembuluh. Pada bagian labellumnya berbelah 3 ruang (trilobed), dengan ujung midlobe yang lebar dan tepi bergelombang berwarna kuning cerah pada pangkal dan menjadi semburat kecokelatan ke arah ujung.

Vanda ini memiliki kekerabatan yang dekat dengan Vanda devoogtii, Vanda merrillii, Vanda sumatrana dan Vanda hindsii. Sayangnya, bunga jenis anggrek ini tidak bertahan lama. Keindahan bunganya hanya bertahan sekitar 7-10 hari. Vanda metusalae termasuk anggrek yang memiliki tingkat kesulitan budidaya yang tinggi bila dibandingkan dengan kerabat Vanda lainnya. Pertumbuhan vegetatifnya tergolong sangat lambat, kemampuan adaptasinya rendah sehingga tanaman baru sangat mudah stres. Lingkungan tumbuhnya sangat spesifik sehingga membutuhkan kelembaban, suhu, aerasi, dan intensitas cahaya yang benar-benar sesuai.

Bila lingkungan tumbuhnya ada yang sedikit saja berubah, jangankan tumbuh, tanaman ini akan stagnan bahkan banyak di antaranya yang mati kekeringan (karena tidak ada pertumbuhan akar yang optimal), bahkan banyak pula yang mengalami busuk akar karena kondisi yang terlalu lembab. Tanaman ini agaknya tidak dianjurkan bagi para pemula.

Langkah prioritas yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah melakukan perbanyakan, khususnya melalui kultur biji maupun kultur jaringan agar spesies ini tidak menghilang dari habitatnya seperti beberapa kerabat Vanda spesies dari Indonesia lainnya.

Sendratari Ramayana, Drama dalam Tarian Khas Jawa

Sendratari Ramayana adalah seni pertunjukan yang cantik, mengagumkan dan sulit tertandingi. Pertunjukan ini mampu menyatukan ragam kesenian Jawa berupa tari, drama dan musik dalam satu panggung dan satu momentum untuk menyuguhkan kisah Ramayana, epos legendaris karya Walmiki yang ditulis dalam bahasa Sanskerta.

Kisah Ramayana yang dibawakan pada pertunjukan ini serupa dengan yang terpahat pada Candi Prambanan. Seperti yang banyak diceritakan, cerita Ramayana yang terpahat di candi Hindu tercantik mirip dengan cerita dalam tradisi lisan di India. Jalan cerita yang panjang dan menegangkan itu dirangkum dalam empat lakon atau babak, penculikan Sinta, misi Anoman ke Alengka, kematian Kumbakarna atau Rahwana, dan pertemuan kembali Rama-Sinta.

Seluruh cerita disuguhkan dalam rangkaian gerak tari yang dibawakan oleh para penari yang rupawan dengan diiringi musik gamelan. Anda diajak untuk benar-benar larut dalam cerita dan mencermati setiap gerakan para penari untuk mengetahui jalan cerita. Tak ada dialog yang terucap dari para penari, satu-satunya penutur adalah sinden yang menggambarkan jalan cerita lewat lagu-lagu dalam bahasa Jawa dengan suaranya yang khas.

Cerita dimulai ketika Prabu Janaka mengadakan sayembara untuk menentukan pendamping Dewi Shinta (puterinya) yang akhirnya dimenangkan Rama Wijaya. Dilanjutkan dengan petualangan Rama, Shinta dan adik lelaki Rama yang bernama Laksmana di Hutan Dandaka. Di hutan itulah mereka bertemu Rahwana yang ingin memiliki Shinta karena dianggap sebagai jelmaan Dewi Widowati, seorang wanita yang telah lama dicarinya.

Untuk menarik perhatian Shinta, Rahwana mengubah seorang pengikutnya yang bernama Marica menjadi Kijang. Usaha itu berhasil karena Shinta terpikat dan meminta Rama memburunya. Laksama mencari Rama setelah lama tak kunjung kembali sementara Shinta ditinggalkan dan diberi perlindungan berupa lingkaran sakti agar Rahwana tak bisa menculik. Perlindungan itu gagal karena Shinta berhasil diculik setelah Rahwana mengubah diri menjadi sosok Durna.

Di akhir cerita, Shinta berhasil direbut kembali dari Rahwana oleh Hanoman, sosok kera yang lincah dan perkasa. Namun ketika dibawa kembali, Rama justru tak mempercayai Shinta lagi dan menganggapnya telah ternoda. Untuk membuktikan kesucian diri, Shinta diminta membakar raganya. Kesucian Shinta terbukti karena raganya sedikit pun tidak terbakar tetapi justru bertambah cantik. Rama pun akhirnya menerimanya kembali sebagai istri.

Anda tak akan kecewa bila menikmati pertunjukan sempurna ini sebab tak hanya tarian dan musik saja yang dipersiapkan. Pencahayaan disiapkan sedemikian rupa sehingga tak hanya menjadi sinar yang bisu, tetapi mampu menggambarkan kejadian tertentu dalam cerita. Begitu pula riasan pada tiap penari, tak hanya mempercantik tetapi juga mampu menggambarkan watak tokoh yang diperankan sehingga penonton dapat dengan mudah mengenali meski tak ada dialog.

Anda juga tak hanya bisa menjumpai tarian saja, tetapi juga adegan menarik seperti permainan bola api dan kelincahan penari berakrobat. Permainan bola api yang menawan bisa dijumpai ketik Hanoman yang semula akan dibakar hidup-hidup justru berhasil membakar kerajaan Alengkadiraja milik Rahwana. Sementara akrobat bisa dijumpai ketika Hanoman berperang dengan para pengikut Rahwana. Permainan api ketika Shinta hendak membakar diri juga menarik untuk disaksikan.
A
Di Yogyakarta, terdapat dua tempat untuk menyaksikan Sendratari Ramayana. Pertama, di Purawisata Yogyakarta yang terletak di Jalan Brigjen Katamso, sebelah timur Kraton Yogyakarta. Di tempat yang telah memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) pada tahun 2002 setelah mementaskan sendratari setiap hari tanpa pernah absen selama 25 tahun tersebut, anda akan mendapatkan paket makan malam sekaligus melihat sendratari. Tempat menonton lainnya adalah di Candi Prambanan, tempat cerita Ramayana yang asli terpahat di relief candinya.

Wayang Kulit


Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.

Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.

Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.

Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.

Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.
read more...

Pengaruh Sukrosa terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Vanda

Dok. Wuryan's Weblog

Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias Pasar Minggu-Jakarta, sejak bulan Januari 1999 sampai dengan bulan Agustus 1999. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui konsentrasi sukrosa yang baik terhadap pertumbuhan plantlet anggrek Vanda. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Terdapat 6 perlakuan konsentrasi sukrosa : 0 (kontrol); 5; 10; 15; 20; dan 25 g/l. Media dasar untuk pertumbuhan plantlet anggrek Vanda adalah Vacin dan Went (VW) + 150 ml/l air kelapa + 50 g/l pisang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa 10-20 g/l memperlihatkan pertumbuhan yang baik pada tinggi plantlet; panjang, lebar, dan jumlah daun; serta panjang dan jumlah akar. Implikasi dari teknologi hasil penelitian ini adalah bahwa penggunaan sukrosa yang tepat untuk pertumbuhan yang baik pada plantlet anggrek Vanda.

Kata kunci : Anggrek Vanda; Sukrosa; Plantlet; Media Vacin dan Went

ABSTRACT. Santi. A. and D. Widiastoety. 2004. Effect of sucrose on the growth of planlet of Vanda orchid. The experiment was conducted at Tissue Culture Laboratory of Research Institute for Ornamental Plant Pasar Minggu-Jakarta, from January 1999 until August 1999. The objective of the study was to find the best of sucrose concentration on the growth of plantlet of Vanda orchid. The treatments were laid a Randomized Block Design (RBD) with six treatments and four replication. There were six concentrations of sucrose : control (untreated); 5; 10; 15; 20; and 25 g/l. Plantlet of Vanda orchid were grown in in vitro with basal medium of Vacin and Went (VW) + 150 ml/l coconut water + 50 g/l banana. The results of the study indicated that 10-20 g/l sucrose can stimulate the good growth of plantlet of Vanda orchid, in terms of plant height; length, width, and number of leaves; and the length and number of roots. The implication of the resulting technology is the using of exactly sucrose concentration tend to stimulate the best growth of Vanda orchid plantlet.

Keywords : Vanda orchid; Sucrose; Plantlet; Vacin and Went medium; Plantlet;

Pada saat ini media Vacin and Went (VW) yang telah dimodifikasi banyak digunakan untuk memperbanyak tanaman anggrek. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa media yang mengandung 10 g/l sukrosa dapat merangsang tunas-tunas kecil membentuk beberapa helai daun. Demikian pula pada media yang mengandung sukrosa + 1 mg/l NAA. Hal tersebut menunjukkan bahwa sukrosa mendorong pertumbuhan dan perkembangan tunas-tunas plantlet menjadi lebih baik. Withner (1959) melaporkan bahwa Bernard pada tahun 1909 telah melakukan penelitian bahwa Bletilla dapat berkecambah dengan baik tanpa pemberian sukrosa, namun menjadi lebih baik bila diberi penambahan sukrosa.

Gula merupakan komponen yang sangat penting pada media kultur jaringan, tidak hanya berfungsi sebagai pengatur tekanan osmotik tetapi juga merupakan sumber karbohidrat yang efektif (Hu dan Zeng, 1984). Pada kultur in vitro energi yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tidak mencukupi karena kondisi lingkungan yang tidak memadai untuk melakukan proses fotosintesis atau bahkan samasekali tidak dapat melakukan proses fotosintesis bila kultur ditumbuhkan di tempat gelap. Menurut Pierik (1987) kandungan gula dalammedia kultur pada umumnya berkisar antara 2-4%, Fonnesbech (1972) menyatakan konsentrasi sukrosa 3-4% dalam media merupakan konsentrasi terbaik bagi pertumbuhan protocorm Cymbidium, sedangkan menurut Murashige (1977) konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar antara 2-3%. Namun demikian untuk jenis-jenis tanaman tertentu konsentrasi gula bisa lebih tinggi. Sintesis sukrosa terjadi sewaktu atau segera setelah terjadi proses fotosintesis dalam sel-sel berklorofil. Walaupun demikian sintesis sukrosa dapat terjadi terlepas dari proses fotosintesis. Sebagai contoh sintesis sukrosa di tempat gelap dapat terjadi pada daun yang telah dipetik dan diberi glukosa atau fruktosa.

Sumber karbon dalam media mempengaruhi proliferasi (Enakasha et al., 1993) dan morfogenesis dalam kultur kalus (Eapen dan George, 1993). Menurut Lou et al. (1996) kombinasi IAA dengan sukrosa konsentrasi tinggi dapat digunakan untuk menginduksi embriogenesis somatik. Menurut Pierik (1987) gula yang sering digunakan antara lain sukrosa, glukosa, dan fruktosa. Keller et al. (1975) menyatakan bahwa sukrosa merupakan sumber gula terbaik bila dibandingkan dengan glukosa, maltosa atau rafinosa.

Pada kultur jaringan anggrek Vanda pertumbuhannya paling baik dalam media tanpa pemberian sukrosa, tetapi diberi penambahan air kelapa.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh konsentrasi sukrosa terhadap pertumbuhan plantlet anggrek Vanda, sehingga luaran penelitian yang diharapkan adalah konsentrasi sukrosa yang tepat dalam media tumbuh anggrek Vanda.

Hipotesis dari penelitian ini adalah penggunaan konsentrasi sukrosa yang tepat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan plantlet anggrek Vanda.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias Pasar Minggu-Jakarta. Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 1999 sampai dengan bulan Agustus 1999.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan media dasar yang digunakan adalah media Vacin dan Went dengan diberi penambahan air kelapa 150 ml/l + pisang 50 g/l.

Perlakuan yang diberikan adalah sebagai berikut ini :

1. Sukrosa 0 g/l

2. Sukrosa 5 g/l

3. Sukrosa 10 g/l

4. Sukrosa 15 g/l

5. Sukrosa 20 g/l

6. Sukrosa 25 g/l

Bahan penelitian yang digunakan dalam percobaan ini adalah bibit anggrek dalam botol (plantlet dalam keadaan steril) yang berukuran kurang lebih 1 cm. Plantlet tersebut ditumbuhkan secara aseptik ke dalam botol kultur berisi media yang telah diberi perlakuan sukrosa.

Botol-botol kultur yang telah berisi bibit (plantlet) kemudian diletakkan di atas rak-rak yang diberi penerangan cahaya lampu dalam ruangan dengan suhu berkisar antara 25-27 o C.

Pengamatan dilakukan dengan mencatat dan menghitung tinggi plantlet, panjang daun, lebar daun, jumlah daun, panjang akar, dan jumlah akar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tinggi plantlet.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian sukrosa dalam media tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi planlet Vanda bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1.).

Perlakuan 20 g/l sukrosa memberikan hasil pertumbuhan terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Keadaan ini berhubungan dengan mekanisme dari elektro osmosis yang menyebabkan mengalirnya ion-ion kalium (K+) melewati pori-pori pada lempeng tapis. Di antara molekul-molekul air yang menyelubungi ion-ion K di dalam larutan dalam tabung tapis terdapat molekul-molekul gula terlarut, dengan demikian molekul-molekul gula akan terbawa ion-ion K. Ukuran dari pori-pori pada lempeng tapis dipengaruhi oleh bahan penyusun sitoplasma yang bentuknya seperti filamen, celah-celahnya cukup memungkinkan molekul-molekul gula dapat melewatinya.

Konsentrasi sukrosa yang tinggi dalam media kultur dapat menghambat pertumbuhan sel-sel somatik. Hal ini diduga akibat tekanan osmotik yang terlalu tinggi, sehingga menyebabkan kematian sel-sel akibat terjadinya lisis atau pecahnya dinding sel (Gandawidjaya, 1998).

Tabel 1. Tinggi planlet anggrek Vanda setelah 6 bulan (The height of a Vanda planlet after six month)

Perlakuan (Treatments)

(g/l)

Tinggi planlet (Plantlet height) *)

(cm)

Kontrol (untreated)

Sukrosa 5

Sukrosa 10

Sukrosa 15

Sukrosa 20

Sukrosa 25

4,40 ad

5,10 ab

5,00 ab

5,80 bc

6,00 c

5,70 bc

*) Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji Duncan (Means followed by the same letters in the same column are not significantly different at 5 % Duncan level)

2. Panjang, lebar, dan jumlah daun

Pemberian sukrosa dalam media tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang, lebar, dan jumlah daun plantlet anggrek Vanda bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 2.).

Senyawa gula yang dihasilkan dari proses fotosintesis dalam daun bergerak longitudinal di dalam jaringan phloem petiol dan batang ke bagian-bagian lain dari tumbuhan. Arahnya pada umumnya ke bawah yaitu dari daun ke akar, tetapi dapat pula ke atas yaitu dari daun ke pucuk di atasnya.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan sukrosa 15-20 g/l memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan panjang, lebar, dan jumlah daun plantlet anggrek Vanda dibandingkan dengan kontrol. Sukrosa sebagai sumber karbon dan energi untuk kegiatan proses metabolisme akan mengalami hidrolisis menjadi 1 molekul glukosa dan 1 molekul fruktosa. Adanya konsentrasi gula yang tinggi menekan transformasi pati menjadi gula. Hal ini terjadi dalam sel-sel daun pada siang hari. Terjadinya gula hasil proses fotosintesis pada siang hari menekan hidrolisis pati, sedangkan pada malam hari bila tidak terjadi pembentukan gula lagi dari proses fotosintesis, maka pati mulai dirombak.

Tabel 2. Panjang, lebar, dan jumlah daun setelah 6 bulan pertumbuhan (Leaf length, leaf width, and number of leaves after six months growth)

Perlakuaan (Treatments)

G/l

Panjang daun *)

(Leaf length)

(cm)

Lebar daun *)

(leaf width)

(cm)

Jumlah daun *)

(leaf number)

Kontrol (Untreated)

Sukrosa 5

Sukrosa 10

Sukrosa 15

Sukrosa 20

Sukrosa 25

3, 30 a

3, 59 a

3, 79 a

4, 12 b

4, 45 c

4, 40 c

0, 39 a

0, 49 b

0, 59 c

0, 64 c

0, 64 c

0, 60 c

3, 10 a

3, 80 b

4, 20 c

4, 40 c

4, 80 d

4, 85 d

*) Lihat Tabel 1. (See Table 1.)

3. Panjang dan jumlah akar

Dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan sukrosa berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang dan jumlah akar plantlet anggrek Vanda (Tabel 3.). Menurut Krisnamoorthy (1981) pertumbuhan panjang dan lebar daun disebabkan oleh pembelahan sel yang menghasilkan sel-sel baru, pemanjangan atau pembesaran sel.

Sumber energi yang dibutuhkan pada umumnya dalam bentuk gula, sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Senyawa-senyawa organik tersebut selain sebagai bahan baku yang menghasilkan energi untuk proses respirasi juga sebagai bahan baku pembentuk sel-sel baru yang dalam konsentrasi yang cukup tinggi dapat merangsang perakaran, sedangkan pada konsentrasi yang rendah baik bagi pertumbuhan tunas (Withner, 1959). Sebagian besar kultur yang dilakukan secara aseptik belum mampu untuk melakukan proses fotosintesis, sehingga diperlukan sumber karbon atau energi baik dalam bentuk sukrosa maupun glukosa. Adanya perlakuan pemberian sukrosa dalam media kultur akan diikuti dengan meningkatnya sumber karbon bagi pertumbuhan akar. Penambahan sukrosa ke dalam media kultur diketahui memperlihatkan pengaruh dalam merangsang embriogenesis somatik (Lou dan Kako, 1995).

Penambahan sukrosa 10 – 20 g/l ke dalam media kultur dapat merangsang pertumbuhan panjang dan jumlah akar plantlet Vanda dibandingkan dengan tanpa penambahan sukrosa (kontrol). Hal ini sesuai dengan pendapat Widiastoety dan Bahar (1995) menyatakan bahwa penggunaan sumber karbohidrat secara terpisah untuk sukrosa, fruktosa, dan glukosa masing-masing 10 g/l cukup efektif untuk mempercepat pertumbuhan batang, daun, dan akar plantlet anggrek Dendrobium.

Tabel 3. Panjang dan jumlah akar setelah 6 bulan (Root length and root number after six months)

Perlakuan (Treatment)

G/l

Panjang akar (Root length)

(cm)

Jumlah akar (Root number)

(cm)

Kontrol (untreated)

Sukrosa 5

Sukrosa 10

Sukrosa 15

Sukrosa 20

Sukrosa 25

2, 56 a

2, 48 a

3, 27 b

3, 96 c

4, 34 c

4, 00 c

4, 20 a

5, 10 b

5, 50 b

5, 10 b

5, 80 b

5, 80 b

*) Lihat Tabel 1. (See Table 1.)

KESIMPULAN

Pemberian sukrosa di dalam media kultur ternyata efektif untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan vegetatif plantlet anggrek Vanda. Penambahan sukrosa 10 – 20 g/l dalam media kultur berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi plantlet, panjang, lebar, dan jumlah daun, serta panjang dan jumlah akar. Pemberian sukrosa di atas 20 g/l tidak perlu dilakukan dalam hal ini.

PUSTAKA

1. Eapen, S., and L. George. 1993. Somatic embryogenesis in peanut: influence of growth regulators and sugars. Plant Cell Tissue and Organ Culture 35: 151 – 156

2. Enaskasha, R.M., E.R.M. Wiekermesinhe, and R.N. Artega. 1993. Taxus callus culture: Initiation, growth optimization, characterization and taxol production. Plant Cell Tissue and Organ Culture 35: 181 – 193

3. Declerck, V., and S.S. Korban. 1996. Influence of growth regulators and carbon sources on callus induction, growth, and morphogenesis from leaf tissues of peach (Prunus persica L. Batsch). J. Hort. Science . 71 (1): 49 – 55

4. Fonnesbech, M. 1972. Organic nutrients in the media for propagation of Cymbidium in vitro. Physiol. Plant 27: 360 – 364

5. Gandawidjaya, D. 1998. Pengaruh sukrosa dan glutamin pada kultur anter Solanum khasianum Clarke. J. Ilmiah Biologi 4: 98 – 102

6. Hu, H., and J.Z. Zeng. 1984. Development of new varieties via anther culture In : Handbook of Plant Cell Culture 3 : 65 – 90

7. Keller, W.A., T. Rajhathy, and J. Lacapra. 1975. In vitro production of plant from pollen in Brassica campetris. Can. J. Genet. Cytol. 17: 655- 666

8. Krishnamoorthy, H.N. 1981. Plant Growth Substances. Tata McGraw Hill Publishing Co. Ltd. New Delhi

9. Lou, H., P. Obara-Okeyo, M. Tamaki, and S. Kako. 1996. Influence of sucrose concentration on in vitro morphogenesis in cultured cucumber cotyledone explants. J. Hort. Science. 77 (1): 497 – 502

10. Lou, H., and S. Kako. 1995. Hole of high sugar concentration in inducing somatic embryogenesis from cucumber cotyledones. Scientia Horticulturae 64: 11 – 20

11. Murashige, T. 1977. Manipulation of organ initiation in plant tissue culture. Bot. Bull. Acad. Sinica. 18:1

12. Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plants. Martinus Nijnhoff Publishers. Dordrecht

13. Widiastoety, D., dan F. A. Bahar. 1995. Pengaruh berbagai sumber dan kadar karbohidrat terhadap pertumbuhan plantlet anggrek Dendrobium. J. Hort. 5 (3) : 76 – 80

14. Withner, C.L. 1959. The Orchid a Scientific Survey. The Ronald Press. Co. , New York
read more...

spnsr

Followers

welcome