
Inovasi Memperbanyak Bibit Tanaman
ओपंसोपंदी
PADA 1965 ketika George Morel, seorang botanis Prancis, sedang melakukan percobaan untuk mendapatkan tanaman anggrek bebas virus, ia menemukan bahwa dengan cara mikropropagasi, tunas sepanjang 1 (satu) milimeter dapat dikembangkan menjadi tanaman lengkap. Cara ini dimulai dengan teknik kultur jaringan atau mikropropagasi.
Pada 1970, teknologi ini dikembangkan secara komersial di sejumlah negara maju. Teknik ini meluas di dunia pada 1980. Pada awalnya teknik ini digunakan pada tanaman hias dan bunga potong untuk diekspor. Dan selama bertahun-tahun, teknik ini hanya berkembang pada skala laboratorium dan pada umumnya diminati oleh kalangan akademisi.
Tetapi di sejumlah negara berkembang, karena kebutuhan biomasa dan kebutuhan energi semakin meningkat, diperlukan kemungkinan perbanyakan massal bibit tanaman dengan teknik kultur jaringan . Dan di abad ke-21 ini, di negara mana pun sudah umum dilakukan penyemaian bibit tanaman dengan teknik yang cukup populer ini.
Definisi kultur jaringan tanaman adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sekelompok sel, jaringan dan organ yang menumbuhkannya dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.
Kultur jaringan sampai sekarang digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Kultur jaringan sering kali disebut kultur in vitro, yang mempunyai arti kultur di dalam gelas.
Teknik kultur jaringan ini pada mulanya ditujukan untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi, yang selanjutnya berkembang untuk penelitian di bidang fisiologi tanaman, dan biokimia. Dan dewasa ini kultur jaringan telah mengarah ke bidang agroindustri.
Perbanyakan tanaman dengan teknik ini memiliki banyak kelebihan yakni tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa tergantung musim karena dilakukan di ruang tertutup, daya multiplikasi tinggi dari bahan tanaman yang kecil, tanaman yang dihasilkan seragam dan bebas penyakit terutama bakteri dan cendawan. Jenis tanaman yang diperbanyak dengan teknik kultur jaringan ditujukan terutama bagi tanaman yang menghadapi masalah seperti daya perkecambahan bijinya rendah, tanaman hibrida yang tetua jantannya tidak steril, tanaman langka, dan tanaman yang selalu diperbanyak dengan cara vegetatif.
Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, negara-negara Eropa, teknik kultur jaringan sudah lama berkembang bukan hanya untuk perbanyakan tetapi juga untuk tujuan lain, di antaranya mendapatkan tanaman bebas penyakit terutama virus, memproduksi senyawa metabolik sekunder, perbaikan tanaman, pelestarian plasma nutfah berupa sel atau organ-organ tumbuhan yang dapat diregenerasikan menjadi tanaman lengkap.
Di Indonesia, teknik kultur jaringan sudah digunakan untuk tujuan perbanyakan tanaman seperti pisang, jahe, kentang, strawberry, asparagus, dan beberapa tanaman hias seperti anggrek, krisantenum, dianthus, kalalili, mawar, melati, kana. Tanaman keras seperti sengon, jati, manggis, eucalyptus juga sudah mampu diperbanyak dengan teknik ini.
Demikian pula untuk perbanyakan bibit pisang, abaka, kana, nanas, lidah buaya, krisan, mawar, kala lili, dianthus, jahe, daun dewa, ginseng jawa, manggis, anggrek, nilam, kedelai, solanum, kentang, dan yang sekarang sedang populer adalah bibit tanaman kelapa sawit dan kayu jati mas.
Tahapan Mikropropagasi
Profesor Murashige dari Universitas California membagi perbanyakan tanaman secara in vitro ini dalam tiga tahap, yang banyak digunakan dalam laboratorium-laboratorium komersial. Namun demikian tahapan-tahapan ini disempurnakan oleh Deberg dan Maene menjadi lima tahap. Pertama adalah seleksi tanaman induk. Sebelum perbanyakan in vitro tersebut dilakukan, penting dilakukan seleksi terhadap tanaman induk terlebih dahulu, menyangkut varietas dan bebas penyakit. Pada tahap ini perlu dilakukan eliminasi kontaminasi pada tanaman induk atau bagian tanaman yang ditujukan untuk memperoleh eksplan steril.
Kedua, pemantapan kultur aseptik yakni memperoleh kultur yang aseptik dari tanaman induk yang terseleksi. Bila telah diperoleh kultur yang aseptik selanjutnya respon pertumbuhan dapat diamati.
Tahap ketiga adalah produksi propagula, tujuannya untuk memperoleh organ multiplikasi atau suatu struktur yang dapat menghasilkan tanaman baru, seperti tunas aksilar atau tunas adventif, embryoid, atau organ perbanyakan lainnya. Tunas yang dihasilkan dari tahap ini dapat dianggap sebagai propagula yang dapat digandakan untuk menambah jumlahnya.
Keempat adalah persiapan planlet sebelum diaklimatisasi. Tunas atau planlet yang dihasilkan dari tahap ketiga masih sangat kecil ukurannya dan belum siap untuk tumbuh pada lingkungan alami. Pada tahap ini planlet ditumbuhkan pada lingkungan tanpa suplai karbohidrat, sehingga mulai mengadakan fotosintesis sendiri. Tahap ini juga menyangkut perpanjangan tunas dan pengakaran.
Tahap kelima adalah aklimatisasi planlet, yakni memindahkan planlet dari lingkungan in vitro yang steril ke lingkungan semi steril sebelum dipindahkan ke lapangan. Dalam tahap ini, planlet ditanam dalam medium pasir dicampur kompos yang telah disterilkan.
Peralatan Minimal
Bagi seorang pemula yang akan mencoba propagasi secara in vitro dan mereka yang gemar bercocok tanam, tetapi hanya memiliki anggaran pas-pasan, mungkin bisa memulai dengan peralatan minimal.
Peralatan tersebut adalah hot plate atau kompor, sterilisator dengan uap bertekanan tinggi, ruang tertutup yang bebas debu atau laminar air flow, pH meter atau kertas pengetes pH, timbangan gram dan timbangan miligram, alat dari gelas, besi tahan karat atau wadah berlapiskan email untuk melarutkan dan memanaskan media, gelas ukur, tabung atau botol tempat kultur dengan penutup yang sesuai dan rak-rak untuk menempatkan tabung, alat-alat untuk tempat mencampur seperti misalnya corong besar yang dilengkapi suatu tabung yang ujungnya diklem atau buret, tempat mencuci dan mengeringkan alat-alat, desinfektan, alat-alat kecil seperti spatel, pisau, skalpel dan pinset, dan kaca pembesar yang dilengkapi lampu dengan perbesaran 3-5 kali.
Apabila tujuannya adalah untuk mendemonstrasikan kultur in vitro dari materi tanaman, tentang media kultur dan teknik yang baru, daftar tersebut dapat dipersingkat dengan mempergunakan media kultur yang telah jadi. Air dan listrik diandaikan telah tersedia dan semua materi untuk media kultur dan air suling perlu dibeli.
Sementara untuk media tanam mikropopagasi pada umumnya dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara essensial, sumber energi dan vitamin. Sedangkan media perlakuan merupakan kombinasi dengan berbagai perlakuan untuk tujuan tertentu misalnya perlakuan hormon.
Dalam teknik kultur jaringan dikenal berbagai macam media dasar yang penamaannya berdasarkan nama penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dan memperoleh hasil yang berarti. Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain media dasar Murashige dan Skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, media dasar B5 untuk kultur sel kedelai dan legume lainnya, media dasar White (1934) sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat, media dasar Vacin dan Went (1949) digunakan untuk kultur jaringan anggrek, media dasar Nitsch dan Nitsch (1969) digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan kultur sel, media dasar Schenk dan Hildebrandt (1972) untuk kultur jaringan tanaman monokotil, media dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) khusus untuk tanaman berkayu, media dasar N6 (1975) untuk serealia terutama padi.
Dari sekian banyak media dasar di atas, yang paling banyak digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Media kultur terdiri dari beberapa atau seluruh komponen berikut: garam-garam anorganik, vitamin, gula, asam amino, persenyawaan kompleks alamiah, buffer, arang aktif, zat pengatur tumbuh (hormon), dan bahan pemadat media yaitu agar.
Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) pada kultur jaringan sangat menentukan keberhasilan kultur. Penelitian pada berbagai macam jenis tanaman, baik tanaman sayuran, buah-buahan ataupun tanaman perkebunan menggunakan metode Mohr untuk pemakaian ZPT, yaitu penggunaan kombinasi ZPT antara kelompok sitokinin dan kelompok auksin.
Stok kerja dibuat dengan melarutkan zat-zat di atas ke dalam akuabides untuk memperoleh 1000 ml larutan stok kerja. Stok kerja yang telah dibuat sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin (refrigerator). Stok beku dibuat dengan melarutkan zat-zat di atas ke dalam akuabides untuk memperoleh 100 ml larutan stok beku. Stok beku yang telah dibuat disimpan dalam refrigerator. Tahapan di atas merupakan pelaksanaan perbanyakan bibit dengan teknik kultur jaringan relatif mudah dikerjakan. Namun untuk pemula sebaiknya dilakukan pelatihan terlebih dahulu.
Koordinasi Antar Laboratorium
Dalam rangka ”trend” untuk perbanyakan bibit massal, laboratorium kultur jaringan yang ada di Indonesia, baik di lingkungan pemerintah ataupun perusahaan swasta, telah mampu dalam hal fasilitas dan personilnya. Hasil yang diperoleh sudah cukup banyak, sehingga telah mampu berpartisipasi untuk masyarakat pengguna. Namun perlu penanganan dan pengembangan yang lebih serius, sehingga dapat bersaing dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia, India, Thailand, Filipina. Karena itu diperlukan koordinasi antarlaboratorium untuk bisa berkomunikasi, sehingga dapat membantu satu sama lain.
Perbanyakan bibit tanaman dengan teknik ini sebenarnya cukup mudah dikerjakan meskipun perlu pelatihan keterampilan bagi teknisi dan peneliti pemula. Fasilitas laboratorium kultur jaringan dapat dibuat secara sederhana, tergantung dari tujuan, serta dana yang tersedia. Contoh, seperti yang dilihat penulis di daerah Lawang (Malang – Jawa Timur), para produsen bibit anggrek melakukan perkembangbiakan dengan laboratorium sederhana. Namun sejumlah perusahaan telah menggunakan peralatan modern, terutama bagi perusahaan kuat modal, di antaranya produsen bibit jati, bibit anggrek phalaenopsis, bibit kentang dan lain-lain. Sayangnya, sampai saat ini, belum ada data statistik tentang perusahaan bibit hasil kultur jaringan.
Pada 1970, teknologi ini dikembangkan secara komersial di sejumlah negara maju. Teknik ini meluas di dunia pada 1980. Pada awalnya teknik ini digunakan pada tanaman hias dan bunga potong untuk diekspor. Dan selama bertahun-tahun, teknik ini hanya berkembang pada skala laboratorium dan pada umumnya diminati oleh kalangan akademisi.
Tetapi di sejumlah negara berkembang, karena kebutuhan biomasa dan kebutuhan energi semakin meningkat, diperlukan kemungkinan perbanyakan massal bibit tanaman dengan teknik kultur jaringan . Dan di abad ke-21 ini, di negara mana pun sudah umum dilakukan penyemaian bibit tanaman dengan teknik yang cukup populer ini.
Definisi kultur jaringan tanaman adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sekelompok sel, jaringan dan organ yang menumbuhkannya dengan kondisi aseptik, sehingga bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi tumbuh menjadi tanaman lengkap kembali.
Kultur jaringan sampai sekarang digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Kultur jaringan sering kali disebut kultur in vitro, yang mempunyai arti kultur di dalam gelas.
Teknik kultur jaringan ini pada mulanya ditujukan untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi, yang selanjutnya berkembang untuk penelitian di bidang fisiologi tanaman, dan biokimia. Dan dewasa ini kultur jaringan telah mengarah ke bidang agroindustri.
Perbanyakan tanaman dengan teknik ini memiliki banyak kelebihan yakni tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa tergantung musim karena dilakukan di ruang tertutup, daya multiplikasi tinggi dari bahan tanaman yang kecil, tanaman yang dihasilkan seragam dan bebas penyakit terutama bakteri dan cendawan. Jenis tanaman yang diperbanyak dengan teknik kultur jaringan ditujukan terutama bagi tanaman yang menghadapi masalah seperti daya perkecambahan bijinya rendah, tanaman hibrida yang tetua jantannya tidak steril, tanaman langka, dan tanaman yang selalu diperbanyak dengan cara vegetatif.
Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, negara-negara Eropa, teknik kultur jaringan sudah lama berkembang bukan hanya untuk perbanyakan tetapi juga untuk tujuan lain, di antaranya mendapatkan tanaman bebas penyakit terutama virus, memproduksi senyawa metabolik sekunder, perbaikan tanaman, pelestarian plasma nutfah berupa sel atau organ-organ tumbuhan yang dapat diregenerasikan menjadi tanaman lengkap.
Di Indonesia, teknik kultur jaringan sudah digunakan untuk tujuan perbanyakan tanaman seperti pisang, jahe, kentang, strawberry, asparagus, dan beberapa tanaman hias seperti anggrek, krisantenum, dianthus, kalalili, mawar, melati, kana. Tanaman keras seperti sengon, jati, manggis, eucalyptus juga sudah mampu diperbanyak dengan teknik ini.
Demikian pula untuk perbanyakan bibit pisang, abaka, kana, nanas, lidah buaya, krisan, mawar, kala lili, dianthus, jahe, daun dewa, ginseng jawa, manggis, anggrek, nilam, kedelai, solanum, kentang, dan yang sekarang sedang populer adalah bibit tanaman kelapa sawit dan kayu jati mas.
Tahapan Mikropropagasi
Profesor Murashige dari Universitas California membagi perbanyakan tanaman secara in vitro ini dalam tiga tahap, yang banyak digunakan dalam laboratorium-laboratorium komersial. Namun demikian tahapan-tahapan ini disempurnakan oleh Deberg dan Maene menjadi lima tahap. Pertama adalah seleksi tanaman induk. Sebelum perbanyakan in vitro tersebut dilakukan, penting dilakukan seleksi terhadap tanaman induk terlebih dahulu, menyangkut varietas dan bebas penyakit. Pada tahap ini perlu dilakukan eliminasi kontaminasi pada tanaman induk atau bagian tanaman yang ditujukan untuk memperoleh eksplan steril.
Kedua, pemantapan kultur aseptik yakni memperoleh kultur yang aseptik dari tanaman induk yang terseleksi. Bila telah diperoleh kultur yang aseptik selanjutnya respon pertumbuhan dapat diamati.
Tahap ketiga adalah produksi propagula, tujuannya untuk memperoleh organ multiplikasi atau suatu struktur yang dapat menghasilkan tanaman baru, seperti tunas aksilar atau tunas adventif, embryoid, atau organ perbanyakan lainnya. Tunas yang dihasilkan dari tahap ini dapat dianggap sebagai propagula yang dapat digandakan untuk menambah jumlahnya.
Keempat adalah persiapan planlet sebelum diaklimatisasi. Tunas atau planlet yang dihasilkan dari tahap ketiga masih sangat kecil ukurannya dan belum siap untuk tumbuh pada lingkungan alami. Pada tahap ini planlet ditumbuhkan pada lingkungan tanpa suplai karbohidrat, sehingga mulai mengadakan fotosintesis sendiri. Tahap ini juga menyangkut perpanjangan tunas dan pengakaran.
Tahap kelima adalah aklimatisasi planlet, yakni memindahkan planlet dari lingkungan in vitro yang steril ke lingkungan semi steril sebelum dipindahkan ke lapangan. Dalam tahap ini, planlet ditanam dalam medium pasir dicampur kompos yang telah disterilkan.
Peralatan Minimal
Bagi seorang pemula yang akan mencoba propagasi secara in vitro dan mereka yang gemar bercocok tanam, tetapi hanya memiliki anggaran pas-pasan, mungkin bisa memulai dengan peralatan minimal.
Peralatan tersebut adalah hot plate atau kompor, sterilisator dengan uap bertekanan tinggi, ruang tertutup yang bebas debu atau laminar air flow, pH meter atau kertas pengetes pH, timbangan gram dan timbangan miligram, alat dari gelas, besi tahan karat atau wadah berlapiskan email untuk melarutkan dan memanaskan media, gelas ukur, tabung atau botol tempat kultur dengan penutup yang sesuai dan rak-rak untuk menempatkan tabung, alat-alat untuk tempat mencampur seperti misalnya corong besar yang dilengkapi suatu tabung yang ujungnya diklem atau buret, tempat mencuci dan mengeringkan alat-alat, desinfektan, alat-alat kecil seperti spatel, pisau, skalpel dan pinset, dan kaca pembesar yang dilengkapi lampu dengan perbesaran 3-5 kali.
Apabila tujuannya adalah untuk mendemonstrasikan kultur in vitro dari materi tanaman, tentang media kultur dan teknik yang baru, daftar tersebut dapat dipersingkat dengan mempergunakan media kultur yang telah jadi. Air dan listrik diandaikan telah tersedia dan semua materi untuk media kultur dan air suling perlu dibeli.
Sementara untuk media tanam mikropopagasi pada umumnya dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara essensial, sumber energi dan vitamin. Sedangkan media perlakuan merupakan kombinasi dengan berbagai perlakuan untuk tujuan tertentu misalnya perlakuan hormon.
Dalam teknik kultur jaringan dikenal berbagai macam media dasar yang penamaannya berdasarkan nama penemunya atau peneliti yang menggunakan pertama kali dan memperoleh hasil yang berarti. Beberapa media dasar yang banyak digunakan antara lain media dasar Murashige dan Skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, media dasar B5 untuk kultur sel kedelai dan legume lainnya, media dasar White (1934) sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat, media dasar Vacin dan Went (1949) digunakan untuk kultur jaringan anggrek, media dasar Nitsch dan Nitsch (1969) digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan kultur sel, media dasar Schenk dan Hildebrandt (1972) untuk kultur jaringan tanaman monokotil, media dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) khusus untuk tanaman berkayu, media dasar N6 (1975) untuk serealia terutama padi.
Dari sekian banyak media dasar di atas, yang paling banyak digunakan adalah media Murashige dan Skoog (MS). Media kultur terdiri dari beberapa atau seluruh komponen berikut: garam-garam anorganik, vitamin, gula, asam amino, persenyawaan kompleks alamiah, buffer, arang aktif, zat pengatur tumbuh (hormon), dan bahan pemadat media yaitu agar.
Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) pada kultur jaringan sangat menentukan keberhasilan kultur. Penelitian pada berbagai macam jenis tanaman, baik tanaman sayuran, buah-buahan ataupun tanaman perkebunan menggunakan metode Mohr untuk pemakaian ZPT, yaitu penggunaan kombinasi ZPT antara kelompok sitokinin dan kelompok auksin.
Stok kerja dibuat dengan melarutkan zat-zat di atas ke dalam akuabides untuk memperoleh 1000 ml larutan stok kerja. Stok kerja yang telah dibuat sebaiknya disimpan dalam lemari pendingin (refrigerator). Stok beku dibuat dengan melarutkan zat-zat di atas ke dalam akuabides untuk memperoleh 100 ml larutan stok beku. Stok beku yang telah dibuat disimpan dalam refrigerator. Tahapan di atas merupakan pelaksanaan perbanyakan bibit dengan teknik kultur jaringan relatif mudah dikerjakan. Namun untuk pemula sebaiknya dilakukan pelatihan terlebih dahulu.
Koordinasi Antar Laboratorium
Dalam rangka ”trend” untuk perbanyakan bibit massal, laboratorium kultur jaringan yang ada di Indonesia, baik di lingkungan pemerintah ataupun perusahaan swasta, telah mampu dalam hal fasilitas dan personilnya. Hasil yang diperoleh sudah cukup banyak, sehingga telah mampu berpartisipasi untuk masyarakat pengguna. Namun perlu penanganan dan pengembangan yang lebih serius, sehingga dapat bersaing dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia, India, Thailand, Filipina. Karena itu diperlukan koordinasi antarlaboratorium untuk bisa berkomunikasi, sehingga dapat membantu satu sama lain.
Perbanyakan bibit tanaman dengan teknik ini sebenarnya cukup mudah dikerjakan meskipun perlu pelatihan keterampilan bagi teknisi dan peneliti pemula. Fasilitas laboratorium kultur jaringan dapat dibuat secara sederhana, tergantung dari tujuan, serta dana yang tersedia. Contoh, seperti yang dilihat penulis di daerah Lawang (Malang – Jawa Timur), para produsen bibit anggrek melakukan perkembangbiakan dengan laboratorium sederhana. Namun sejumlah perusahaan telah menggunakan peralatan modern, terutama bagi perusahaan kuat modal, di antaranya produsen bibit jati, bibit anggrek phalaenopsis, bibit kentang dan lain-lain. Sayangnya, sampai saat ini, belum ada data statistik tentang perusahaan bibit hasil kultur jaringan.
1 comments: on "Inovasi Memperbanyak Bibit Tanaman"
:D
Keren bro!
NPL Vedca
Posting Komentar