


NAMA : Opan Sopandi
NIM : K 4207068
Bidang Peminatan : Kultur Jaringan Tanaman
PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA 4 VEDCA
JOINTPROGRAM
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PERTANIAN
CIANJUR DAN POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah Micropropagasi berjudul Teknik Sambung Mikro In Vitro Kina cinchona succirubra dengan c. ledgeriana
Makalah micropropagasi ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah micropropagasi
Teknik sambung mikro (mikrografting) in vitro adalah teknik penyambungan potongan batang atas pada batang bawah dalam kultur jaringan. Pada tanaman kina teknik sambung mikro in vitro belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan tipe sambung mikro, medium terbaik untuk planlet hasil sambung mikro, dan perbanyakan tanaman kina dengan sambung mikro. Pelaksanaan percobaan meliputi (i) optimasi tipe sambung ii) optimasi medium, dan (iii) aklimatisasi planlet hasil sambung mikro
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya karya tulis ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:
1. Ir. Anton Sugiri, MP, selaku Kepala Departemen Pendidikan Diploma 4 VEDCA.
2. Ir. Heru Sugito, MP, selaku Dosen Mata Kuliah Mikropropagasi dan Penanggung Jawab Bidang Peminatan Kultur Jaringan Tanaman.
3. Rekan-rekan, atas waktu, bantuan, nasehat dan pinjaman PC serta ruang kerjanya.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tentu saja Makalah ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu segala kritik, saran dan masukan akan diterima dengan senang hati demi untuk penyempurnaan di kemudian hari.
Cianjur, juli 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
Hal.
ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... v
DAFTAR TABEL.............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Tujuan .............................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4
2.1. Klasifikasi Tanaman.............................................................................. 4
2.2. Bahan tanaman unggul........................................................................... 4
2.3. Pembibitan .......................................................................................... 5
BAB III BAHAN DAN METODE.................................................................... 6
3.1. Bahan................................................................................................... 6
3.2. Metode................................................................................................. 6
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 9
4.1. Hasil..................................................................................................... 9
4.2. Pembahasan.......................................................................................... 9
BAB V SIMPULAN ........................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1. Tipe sambung mikro batang atas C. ledgeriana
dengan batang bawah C. succirubra (a) tipe V dan (b) tipe L. …………7
Gambar 2. Pengaruh IBA terhadap perakaran planlet kina hasil sambung mikro umur delapan minggu setelah dikultur. (a) kontrol, (b) dengan konsentrasi 1 mg/L , (c) 2 mg/L , (d) 3 mg/L , dan (e) 4 mg/L IBA....14
Gambar 3.Tanaman kina hasil mikrografting (a) aklimatisasi dalam ruang kultur bercahaya; (b) satu bulan setelah diaklimatisasi di bawah paranet, (c) tiga bulan setelah aklimatisasi. …………………………………………….16
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1. Pengaruh kombinasi batang atas dan bawah
serta tipe sambung terhadap jumlah daun planlet kina
umur 1 sampai 8 minggu. .......................................................................................................11
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi IBA dalam medium MS terhadap persentase
planlet kina berakar umur delapan minggu setelah penyambungan.................13
Tabel 3. Pengaruh IBA pada perakaran planlet dengan berbagai kombinasi batang bawah dan batang atas pada umur delapan minggu. .......................................14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kina (Cinchona succirubra dan C. ledgeriana) merupakan tanaman industri penghasil senyawa alkaloid yang dapat digunakan dalam industri farmasi, kosmetik, industri makanan dan minuman serta agrokimia lainnya (Widayat, 2000). Empat jenis alkaloid utama tanaman kina adalah kinin, kinidin, sinkonin dan sinkonidin. Kinin digunakan sebagai bahan tonik perantara senyawa pembuat vitamin B dan obat anti malaria, sedangkan kinidin digunakan sebagai obat pengatur irama denyut jantung (Dayrit et al., 1994). Indonesia merupakan penghasil alkaloid kina berupa garam kina. Akan tetapi sampai saat ini hasil tersebut masih belum mencukupi kebutuhan karena penanaman masih terbatasUsaha untuk pemenuhan kebutuhan garam kina adalah melalui perluasan areal dan peremajaan tanaman. PTPN VIII merencanakan untuk melakukan perluasan areal hingga tahun 2008 mencapai 10.000 Ha (Santoso & Wibowo, 2000).
Sehubungan dengan hal itu diperlukan penyediaan bibit yang berkualitas dengan kandungan kinin tinggi dan tahan terhadap penyakit akar dalam jumlah yang banyak. Sampai saat ini penyediaan bahan tanaman kina dilakukan dengan teknik semai sambung dan setek sambung Semai sambung dan setek sambung adalah penyambungan yang dilakukan di lapang dimana sebagai batang bawah digunakan C. succirubra berumur 15 bulan, sedangkan batang atas digunakan C. ledgeriana berumur 812 bulan. Kedua teknik tersebut banyak kelemahannya antara lain tingginya tingkat inkompatibilitas, rendahnya persentase tanaman yang berhasil hidup dengan baik, sulit mendapatkan bahan sambung dalam jumlah yang banyak, dan persiapan bahan tanaman membutuhkan waktu yang lama. Bibit siap dipindah ke lapang setelah berumur 2,5 tahun (Santoso & Wibowo, 2000). Salah satu cara untuk mengatasi masalah di atas adalah dengan menggunakan teknologi sambung mikro in vitro, yang selanjutnya disebut sambung mikro. Sambung mikro adalah perbanyakan vegetatif yang dilakukan dalam kondisi aseptik dengan menggunakan teknik kultur in vitro yang bertujuan untuk menggabungkan keunggulan sifat batang bawah dan batang atas. Keunggulan penggunaan sambung mikro adalah dapat mempersingkat waktu penyediaan bibit sambung, menghasilkan tanaman bebas penyakit, tanaman lebih seragam, dan dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak serta rendahnya inkompatibilitas (Mariska, 1985; Pasquale et al., 1999; EstradaLuna et al., 2002; Turnbull et al., 2002; Kala et al., 2002). Di samping itu dapat mengetahui secara dini hasil sambung mikro yang kompatibel atau yang tidak kompatibel (Errea et al., 2001).
Raghothama (1999) menyatakan bahwa pada sambung mikro Arabidopsis yang kompatibel hubungan timbal balik antara batang bawah dan batang atas terjadi secara normal. Holbrook et al. (2002) juga menyatakan hubungan antara batang bawah dan batang atas mempengaruhi keragaman dalam pola distribusi hara, kemampuan hara untuk bergerak melintasi bagian penyatuan sambungan, dan regulasi transpor hormon. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan sambung mikro adalah tipe penyambungan batang bawah dan batang atas yang digunakan.
Metode sambung umumnya tergantung pada spesies tanaman yang disambung. Beberapa tipe penyambungan yang umum digunakan adalah tounge approach grafting, penyambungan dengan penyisipan, penyambungan dengan pemotongan, penyambungan dengan pemotongan miring, horizontal, dan penyambungan dengan bantuan selang plastik. Di samping itu ada juga penyambungan berbentuk V dan L (Oda, 1995; Lee et al.,1998; Suzuki et al., 1998). Lukman et al. (2005) menyatakan bahwa keberhasilan sambung mikro antara manggis dan mundo tipe V mencapai 76 %, dan bentuk sambung tipe V lebih baik dari yang lainnya. EstradaLuna et al. (2002) berhasil melakukan sambung mikro tipe V dan mendatar pada kaktus.
Kala et al. (2002) menyatakan bahwa medium merupakan faktor utama dalam penentuan keberhasilan perakaran sambung mikro. Induksi perakaran pada planlet sambung mikro perlu dirangsang dengan menggunakan IBA. Sebanyak IBA 10 M IBA merupakan konsentrasi terbaik untuk perakaran jambu mente (Bogetti et al., 2001), dan 2 mg/L untuk planlet kina (Santoso et al., 2004). Yunita (2002) melaporkan bahwa perendaman planlet melinjo dalam 500 mg/L IBA sebelum diaklimatisasi dapat merangsang perakaran pada tahap aklimatisasi. Pertumbuhan akar yang baik pada saat pengkulturan planlet sangat penting untuk mempertahankan kemampuan hidup yang tinggi pada aklimatisasi dan pasca aklimatisasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui (i) tipe sambung sambung mikro yang terbaik, (ii) medium yang terbaik untuk planlet hasil sambung mikro, dan (iii) teknik aklimatisasi planlet hasil sambung mikro.
1.2. TUJUAN
1. Mengetahui Bentuk tipe penyambungan yang terbaik untuk sambung mikro in vitro tanaman kina.
2. Mengetahui medium yang terbaik untuk pertumbuhan dan perakaran planlet kina hasil sambung mikro in vitro.
3. Mengetahui Aklimatisasi planlet hasil sambung mikro in vitro
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Tanaman
Family: Rubiaceae
Genus: Cinchona
Species: officinalis, ledgeriana, succirubra, calisaya
Synonyms: Quinaquina officinalis, Quinaquina lancifolia, Quinaquina coccinea
Common names: Quinine bark, quina, quinine, kinakina, China bark, cinchona bark, yellow cinchona, red cinchona, Peruvian bark, Jesuit's bark, quina-quina, calisaya bark, fever tree
Parts Used: Bark, wood
Gambar 1. pohon kina pada habitatnya
2.2. Bahan tanaman unggul
a. Klon ledger (Cinchona ledgeriana) sebagai batang atas
Tanaman kina ledger yang telah ditanam secara luas di Indonesia adalah Cib 5, GA 22, dan KP 105 dengan kadar kina sekitar 10,08 % sampai dengan 11,39 %. Hasil pengujian klon-klon generasi keempat yang dilakukan di KP Gambung dan Kebun Bunga Melur klon seri QRC (Quinine Research Center) dan klon seri CKB (Cikembang) menunjukkan bahwa klon-klon seri QRC dan CKB yang terseleksi mempunyai potensi garam kina yang tinggi yaitu 11,23 % sampai dengan 15,6 %. Disamping itu, penggunaan klon-klon seri QRC ternyata dapat memperpendek masa TBM (panen ranting sekunder) dari umur 5 tahun setelah tanam menjadi 4 tahun.
b. Klon Succi (Cinchona succirubra) sebagai batang bawah
Kina succi (baca suksi) mempunyai sifat pertumbuhan tanaman yang cepat, daya perakaran yang dalam, dan tahan terhadap jamur akar, tetapi kadar garam kinanya rendah. Dalam budidaya kina succi dipergunakan sebagai batang bawah dengan batang atas kina ledger. Untuk mendapatkan bibit yang berkualitas baik dan seragam pertumbuhannya maka diperlukan seleksi kina succi untuk batang bawah. Hasil seleksi kina succi untuk batang bawah dari 20 jenis succi telah ditemukan 3 klon kina succi yang dapat dipakai sebagai batang bawah. Persentase jadi bibit stek sambung dengan batang bawah klon bawah SG 1, SG 2, dan SG 3 mencapai minimum 90 persen dengan sistem perakaran yang baik.
2.3. Pembibitan
Pada saat ini telah ditemukan metode pembuatan bibit kina setek sambung (grafted cutting) dengan persentase jadi mencapai 60-95 persen. Namun, yang menjadi masalah disini adalah pengadaan batang bawah kina succi yang belum siap dikebun. Sementara ini stek batang bawah succi hanya diambil dari tunas-tunas batang bawah yang ada, padahal keragaman genetik tanaman succi cukup tinggi. Hasil penelitian dari PPTK Gambung menyatakan bahwa penggunaan batang bawah succi yang berasal dari tunas primer dan cabang primer menunjukkan persentase keberhasilan bibit setek sambung yang tinggi, sedangkan penggunaan cabang sekunder dan tersier rendah.
Keuntungan sistem pembibitan kina dengan cara setek sambung adalah (1) lama pembibitan dipersingkat dari 2,5 tahun (semai sambung) menjadi 1 tahun, (2) pelaksanaan pembibitan lebih praktis dan lebih mudah, (3) dapat menghemat biaya sekitar 30-50 persen bila dibandingkan dengan semai sambung. Bibit setek sambung pada umur 10-12 bulan siap dipindah ke lapangan dengan syarat tinggi bibit minimal 50 cm, penampilan bibit tegar, berdaun banyak, bercabang dan daun berwarna hijau segar.
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. Bahan
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Biomolekuler Tanaman, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Bogor. Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan yaitu (a) optimasi tipe sambung antara batang bawah dan batang atas, (b) optimasi medium, dan c) aklimatisasi planlet hasil sambung in vitro mikro Optimasi tipe sambung mikro Eksplan yang digunakan adalah C. ledgeriana klon QRC205 hasil kultur in vitro berumur tiga bulan (Santoso et al., 2004).
3.2. Metode
Tipe sambung yang diuji adalah tipe V dan tipe L (Gambar 1). Bagian planlet yang digunakan untuk batang bawah dipotong sepanjang dua buku dari pangkal batang bawah, sedangkan sebagai batang atas dipotong dua buku dari tajuk. Batang bawah yang dipersiapkan harus seragam yaitu memiliki diameter yang sama atau sedikit lebih besar dari batang atas. Bagian tajuk batang bawah dipangkas kemudian dibuat sayatan sesuai perlakuan yaitu tipe V dan tipe L sepanjang 1 cm dengan menggunakan pisau skalpel. Sayatan batang atas dibuat sesuai dengan sayatan batang bawah, baik bentuk maupun ukurannya. Selanjutnya batang atas ditancapkan pada batang bawah yang sudah disayat. Untuk memperkokoh sambungan eksplan diikat dengan menggunakan alumunium foil yang sudah disterilkan, kemudian dikulturkan pada medium sambung mikro. Selanjutnya kultur diinkubasi di ruang inkubasi pada suhu 2527 oC dengan pencahayaan 12 jam per hari.
Percobaan dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal (RAL) dengan dua taraf yaitu kombinasi batang bawah dengan batang atas tipe V dan kombinasi batang bawah dengan batang atas tipe L dengan 10 ulangan, setiap ulangan terdiri dari satu botol dan setiap botol terdiri dari tiga planlet. Peubah yang diukur meliputi persentase planlet yang bertahan hidup, jumlah eksplan yang berkalus, jumlah daun. Pengamatan dilakukan sampai minggu kedelapan dengan selang pengamatan satu minggu setelah sambung mikro Untuk menetapkan pengaruh perlakuan tipe sambung akibat sambung mikro antara batang bawah dan batang atas, maka data hasil pengamatan ditransformasi dengan X + 0,5 . transformasi dianalisis sidik ragam dan uji beda Duncan dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 6,12.
(b)
Gambar 1. Tipe sambung mikro batang atas C. ledgeriana dengan batang bawah C. succirubra (a) tipe V dan (b) tipe L.
Medium sambung mikro Medium yang digunakan adalah Murashige & Skoog (1962) dengan penambahan 1, 2, 3, dan 4 mg/L IBA. Percobaan disusun dengan Rancangan Acak Lengkap faktor tunggal (RAL) dengan empat taraf konsentrasi IBA masing - masing percobaan diulang 10 kali, setiap ulangan terdiri dari satu botol dan berisi tiga planlet. Eksplan yang digunakan adalah planlet C. succirubra sebagai batang bawah dan planlet C. legderiana sebagai batang atas, berumur empat bulan sesudah dikulturkan dengan tipe sambung yang terbaik pada percobaan sebelumnya. Planlet hasil sambung mikro selanjutnya dikulturkan pada medium perakaran dan diinkubasi di ruang inkubasi, serta peubah yang diukur dan analisis data dilakukan dengan menggunakan metode seperti pada percobaan sebelumnya.
Medium yang digunakanuntuk aklimatisasi adalah medium yang terbaik berdasarkan metode Santoso et al. (2004) yaitu arang sekam : top soil (1 : 1). Aklimatisasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu (1) aklimatisasi di ruang kultur ber AC pada suhu 2527 oC dengan pencahayaan 12 jam per hari, dan (2) aklimatisasi di rumah plastik bernaungan paranet 70%. Medium aklimatisasi dimasukkan ke dalam gelas Aqua setinggi 9 cm. Dalam setiap gelas yang berisi medium ditanam satu planlet dan diberi sungkup plastik transparan. Selanjutnya planlet ditempatkan di ruang kultur, setelah satu minggu sungkup dibuka satu jam per hari, dan setelah minggu kedua dan ketiga sungkup dibuka selama dua jam per hari. Setelah minggu keempat planlet dipindah ke rumah plastik bernaungan paranet 70%. Medium yang digunakan pada aklimatisasi di lapang sama dengan medium pada aklimatisasi dalam ruang kultur. Untuk menjaga kelembaban dilakukan penyungkupan secara kolektif. Pada umur tiga minggu sungkup dibuka secara bertahap mulai 30 menit perhari, satu jam per hari hingga sungkup dapat dibuka seluruhnya. Percobaan ini dilakukan selama dua bulan. Peubah yang diukur adalah persentase planlet yang dapat bertahan hidup dengan baik.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil percobaan pengaruh tipe sambung mikro dengan batang bawah C. succirubra (CS) dan batang atas C. ledgeriana (CL) terhadap kecepatan pertumbuhan planlet kina, menunjukkan bahwa pertumbuhan planlet dari hasil sambung tipe L baru terjadi pada minggu kedua setelah mikrografting, dan meningkat pada minggu ketiga, pertumbuhan planlet mulai serempak mencapai 100% pada minggu keempat. Pada bentuk sambung tipe V planlet mulai tumbuh pada minggu kedua dan pertumbuhan planlet mulai serempak (100%) pada minggu ketiga. Dapat disimpulkan bahwa kecepatan pertumbuhan planlet dari hasil sambung tipe V lebih cepat satu minggu dibandingkan dengan pertumbuhan planlet dengan sambung tipe L. Pengaruh bentuk sambung tipe L dan tipe V terhadap jumlah daun planlet pada minggu pertama hingga minggu kedelapan menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata dimana bentuk sambung tipe V lebih baik dari bentuk sambung tipe L kecuali pada minggu pertama (Tabel 1). Perbedaan pertumbuhan planlet yang tidak nyata pada minggu pertama diduga disebabkan planlet sedang dalam tahap inisiasi kalus untuk penyembuhan luka akibat perlakuan sambung mikro.
4.2.Pembahasan
4.2.1. Pengaruh Tipe Sambung Mikro
Luka akibat perlakuan sambung mikro akan berakhir setelah terjadinya pertautan antara jaringan kambium batang bawah dan batang atas dengan sempurna Menurut Hartmann et al. (1997) dalam proses penyembuhan pada planlet yang terluka masingmasing sel baik planlet batang bawah dan batang atas membentuk jaringan kalus berupa selsel parenkim. Selsel parenkim dari batang bawah dan batang atas saling kontak, menyatu dan membaur, selsel parenkima yang terbentuk dan terdiferensiasi membentuk kambium sebagai lanjutan dari lapisan kambium batang bawah dan batang atas yang lama. Dari lapisan kambium akan terbentuk jaringan pembuluh sehingga proses translokasi hara dari batang bawah ke batang atas atau sebaliknya hasil fotosintesis dari batang atas ke batang bawah berlangsung sebagaimana mestinya Kala et al. (2002) melaporkan bahwa sambung mikro pada planlet karet mulai tumbuh dengan baik pada berumur tiga minggu setelah perlakuan. Proses penyembuhan luka pada planlet akibat sambung berbeda - beda tergantung dari jenis dan karakter dari planlet yang diuji. Rifa’iFaiz (2003) melaporkan bahwa pada tanaman duku perkembangan kalus masih terjadi hingga planlet sampai berumur tiga bulan setelah sambung.
Pada percobaan ini bentuk sambung tipe V menghasilkan pertumbuhan planlet lebih cepat satu minggu dan lebih serempak dibandingkan dengan bentuk sambung tipe L. Hal ini disebabkan pada sambungan tipe V posisi kambium antara batang bawah dan batang atas berada pada posisi pertautan yang tepat dan kokoh. Kondisi tersebut menyebabkan eksplan tidak mudah bergeser dan jaringan ikatan pembuluh xilem serta floem dan kambium antar kedua planlet dengan sangat mudah akan menyatu. Pada perlakuan sambung mikro tipe L diduga posisi pertautan jaringan sel kambium batang bawah dan batang atas kurang tepat atau bergeser pada saat perlakuan, sehingga perlu waktu lebih lama untuk menyembuhkan luka akibat perlakuan.
Tabel 1. Pengaruh kombinasi batang atas dan bawah serta tipe sambung terhadap jumlah daun planlet kina umur 1 sampai 8 minggu.
Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak Duncan P <>
Lukman et al. (2005) melaporkan bahwa sambung mikro pada dua spesies yang berbeda (mundo dan manggis) dengan model sambung tipe V tingkat keberhasilannya mencapai 76%. Oda (1995) menyebutkan bahwa pada penyambungan dengan menggunakan bentuk sambung tipe V pertautan antara batang bawah dengan batang atas dapat terjadi dengan cepat dan kokoh, sedangkan penyambungan yang dilakukan dengan menggunakan bentuk sambung tipe L dan tipe datar menyebabkan pertumbuhan lebih lambat.
Kala et al. (2002) melaporkan bahwa tipe penyambungan pada sambungan mikro in vitro tanaman Hevea brasiliensis yang terbaik adalah berbentuk pelana (/). Sebagai batang bawah digunakan kecambah yang dikulturkan secara in vitro dalam medium Murashige dan Skoog (1962) dengan penambahan 2,0 mg/L BA dan 1,0 mg/L thidiazuron. Tanaman yang diperoleh dapat tumbuh baik setelah diaklimatisasiTirtawinata (2003) menjelaskan posisi kambium batang bawah dengan batang atas sangat menentukan perkembangan planlet selanjutnya. Kontak kambium yang tidak tepat atau sebagian dapat mengakibatkan pertautan jaringan pembuluh antara batang bawah dengan batang atas tidak sempurna, dan selanjutnya berakibat pada translokasi senyawasenyawa penting untuk metabolisme pertumbuhan planlet seperti translokasi nutrisi dan air dapat berlangsung secara lancar dari bawah ke atas atau translokasi hasil fotosintesis dari batang atas ke seluruh bagian planlet. Dengan demikian semua aspek dalam penyambungan baik fisik, mekanis maupun fisiologis perlu diusahakan dalam kondisi seoptimal mungkin sehingga keberhasilan lebih terjamin.
Medium sambung mikro planlet kina Penambahan IBA pada medium MS sangat berpengaruh terhadap perakaran sambung mikro planlet kina. Pada perlakuan kontrol yang tidak diberikan IBA terlihat bahwa tidak satupun planlet berakar, akan tetapi pada penambahan IBA yang bertingkat (1, 2, 3 dan 4 mg/L) pertumbuhan akar semakin banyak (Tabel 2). Penambahan IBA terhadap perakaran sambung mikro planlet kina tidak berpengaruh nyata, akan tetapi penambahan IBA seperti perlakuan pertumbuhan akar cenderung meningkat.
Jumlah akar yang paling banyak diperoleh dari konsentrasi 3 dan 4 mg/L IBA (Tabel 3). Dapat disimpulkan bahwa penambahan 3 mg/L IBA pada medium MS adalah yang terbaik untuk sambung mikro planlet kina. Kala et al. (2002) menyatakan bahwa medium merupakan faktor utama dalam penentuan keberhasilan sambung mikro. Oda (1995), Bogetti et al. (2001) dan DeKlerk et al. (2001) menyatakan bahwa IBA berpengaruh terhadap pertumbuhan akar pada kultur in vitro Bogetti et al. (2001) menemukan bahwa 10 mg/L IBA meningkatkan pertumbuhan akar planlet Anacardium occidentale. Sedangkan Agustiansyah (2002) melaporkan bahwa pemberian 5 mg/L IBA meningkatkan jumlah akar planlet strowberi.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi IBA dalam medium MS terhadap persentase planlet kina berakar umur delapan minggu setelah penyambungan.
Tabel 3. Pengaruh IBA pada perakaran planlet dengan berbagai kombinasi batang bawah dan batang atas pada umur delapan minggu.
|
|
|
Gambar 1. Pengaruh IBA terhadap perakaran planlet kina hasil sambung mikro umur delapan minggu setelah dikultur. (a) kontrol, (b) dengan konsentrasi 1 mg/L , (c) 2 mg/L , (d) 3 mg/L , dan (e) 4 mg/L IBA.
4.2.2. Aklimatisasi
Rata - rata planlet yang dapat bertahan hidup setelah dilakukan aklimatisasi secara bertahap sebagai berikut : aklimatisasi dalam ruangan pada suhu 25 oC dengan medium arang sekam yang dicampur dengan tanah top soil steril dengan perbandingan (1 : 1) dilakukan selama satu bulan, seluruh planlet dapat bertahan hidup dengan baik (100%). Sebanyak 90% planlet dapat bertahan hidup setelah planlet dipindah ke rumah plastik bernaungan dengan komposisi medium tumbuh yang sama (Tabel 3). Vigor tanaman sangat baik, dengan pertumbuhan relatif cepat sehingga pada umur tiga bulan setelah diakliamatisasi tinggi tanaman sudah mencapai 4050 cm (Gambar 2). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penyesuaian planlet terhadap suhu luar perlu dilakukan secara bertahap, yaitu melalui preaklimatisasi dalam ruang kultur (suhu 2527oC) pencahayaan 12 jam per hari diikuti dengan aklimatisasi di bawah naungan paranet 70%. Diduga bahwa pada preaklimatisasi sudah terjadi penebalan lapisan lilin pada daun, akar sudah berfungsi dengan baik dan fotosintesis juga sudah berjalan dengan baik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa planlet kina hasil mikrografting yang ditumbuhkan pada kondisi heterotrof dapat ditanam pada kondisi yang autotrof setelah mendapat perlakuan adaptasi pada suhu rendah. Hal ini dilakukan karena persyaratan hidup planlet kina membutuhkan suhu 13,521,1oC, pH berkisar antara 4,56,5, ketinggian 9003000 m di atas permukaan laut, curah hujan antara 20003500 mm/tahun sepanjang tahun dan kelembaban udara antara 6997% (PPTK ,1995).
Gunawan (1992) dan Posposilova et al. (1996) menyatakan bahwa sifatsifat planlet hasil kultur in vitro yang kurang menguntungkan antara lain lapisan lilin/ kutikula tidak berkembang dengan baik, lignifikasi batang kurang, selsel palisade daun sedikit, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang, dan stomata sering tidak berfungsi (tidak menutup pada penguapan tinggi) sehingga pucuk sangat peka terhadap evapotranspirasi, serangan cendawan dan bakteri tanah, dan cahaya dengan intensitas tinggi. Oleh sebab itu diperlukan aklimatisasi sebelum memindahkan planlet ke lapang Onay et al. (2003) melakukan sambung mikro in vivo dan in vitro tanaman Pistacia vera, dengan tipe penyambungan bentuk V. Diperoleh bahwa keberhasilan sambung mikro dipengaruhi oleh umur batang atas yang digunakan, dan terbaik adalah yang berasal dari tanaman berumur satu tahun. Setelah dilakukan aklimatisasi hanya 50% tanaman hasil in vitro sambung mikro yang mampu bertahan hidup, sedang in vivo mikrografting mencapai 100% pada medium tanah.
.
Gambar 2. Tanaman kina hasil mikrografting (a) aklimatisasi dalam ruang kultur bercahaya; (b) satu bulan setelah diaklimatisasi di bawah paranet, (c) tiga bulan setelah aklimatisasi.
Nas & Read (2004) melakukan sambung mikor vitro American chesnut, hazelnut hibrid dan anggur dikulturkan secara in vitro dalam medium Nas dan Read. Akar diinduksi dengan mencelupkan batang bawah ke dalam larutan 1000 mg/L IBA. Setelah dua bulan aklimatisasi dalam Jiffi pot American chesnut, hazelnut hibrid dan anggur yang berhasil tumbuh masingmasing 80%, 70% dan 50%.
BAB IV
SIMPULAN
1 Dari hasil percobaan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Bentuk tipe V adalah penyambungan yang terbaik untuk sambung mikro in vitro tanaman kina.
2 Medium MS dengan penambahan IBA 3 mg/L merupakan medium yang terbaik untuk pertumbuhan dan perakaran planlet kina hasil sambung mikro in vitro.
3 Aklimatisasi planlet hasil sambung mikro in vitro dilakukan secara bertahap, yaitu dalam ruang kultur pada suhu 25–27 oC diikuti dengan di rumah plastik bernaungan paranet 70%. Teknik ini menghasilkan lebih dari 90% planlet yang mampu bertahan hidup. Teknik sambung mikro in vitro dapat digunakan untuk memperbanyak tanaman kina secara klonal.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiansyah (2002). Studi perbanyakan tanaman Strowberi (Fragaria ananassa Duch) secara in vitro. Tesis. Bogor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bogetti, B., K. Jasik & S. H. Mantell (2001). In vitro root formation in Anacardium occidentale microshoots. Biol. Plant., 44 (2), 175179.
Dayrit, F.M., A.Guldotea, M.L.Generalao & C. Serna (1994). Determination of the quinine content in the bark of the Cinchona tree grown in Mt. Kitangland, Bukindon. Philippine J. Sci., 123, (3), 5257.
DeKlerk, G.J., J. Hanecakova & J. Jasik (2001). The Role of cytokinins in rooting of stem slices cut from apple microcuttings. Plant Biosystem., 135 (1), 7984.
Errea, P., L. Garay & A.J.Marin (2001). Early detection of graft incompatibility in Apricot (Prunus armeniaca) using in vitro techniques. Physiol. Plant., 112, 135 141
EstradaLuna, A.A., C. LopezPeralpa & E. CardenasSoriano (2002). In vitro micrografting and the histology of graft union formation of selected species of prikly pear cactus (Opuntia spp.). Sci. Hort., 92, 317327.
Gunawan, L.W. (1992). Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Hartmann, H.T. & D.E. Kester, F.T.Davies (1997). Plant Propagation, Principles and Practice. Sixth Edition. New Jersey, Practice Hall International, Inc. 770p.
Holbrook, N.M., V.R. Shashidhar, R.A. James & R. Munns (2002). Stomatal control in
J. Ex
Menara Perkebunan, 2006, 74(2), 6375. Nurita Toruanmathius, Lukman & Agus Purwito 1) Seameo Biotrop, Bogor, Indonesia
![]() |
0 comments: on " "
Posting Komentar